Bambang
Sutiyoso, SH. M.Hum.
Berfilsafat adalah berfikir. Hal ini tidak
berarti setiap berfikir adalah berfilsafat, karena berfilsafat itu berfikir
dengan ciri-ciri tertentu. Ada beberapa ciri berpikir secara kefilsafatan, yaitu
:
1. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan
secara radikal. Radikal berasal dari kata Yunani, radix yang berarti “akar”. Berfikir
secara radikal adalah berfikir sampai ke akar-akarnya. Berfikir sampai ke
hakikat, essensi, atau samapai ke substansi yang dipikirkan. manusia yang
berfilsafat tidak puas hanya memperoleh pengetahuan lewat indera yang selalu
berubah dan tidak tetap. Manusia yang berfilsafat dengan akalnya berusaha untuk
dapat menangkap pengetahuan hakiki, yaitu pengetahuan yang mendasari segala
pengetahuan inderawi.
2. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara
universal (umum). Berfikir secara universal adalah berfikir tentang hal-hal
serta proses-proses yang bersifat umum. Filsafat bersangkutan dengan pengalaman
umum dari ummat manusia (common experience of mankind). Dengan jalan penjajakan
yang radikal, filsafat berusaha untuk sampai pada kesimpulan-kesimpulan yang
universal. Bagaimana cara atau jalan yang ditempuh untuk mencapai sasaran
pemikirannya dapat berbeda-beda. Akan tetapi yang dituju adalah keumuman yang
diperoleh dari hal-hal khusus yang ada dalam kenyataan.
3. Berfikir
secara kefilsafatan dicirikan secara konseptual. Yang dimaksud dengan konsep di
sini adala hasil generalisasi dan abstraksi dari pengalaman tentang hal-hal
sertya proses-proses individual. Berfilsafat tidak berfikir tentang manusia
tertentu atau manusia khusus, tetap[i berfikir tentang manusia secara umum. Dengan
ciri yang konseptual ini, berfikir secara kefilsafatan melampoi batas
pengalaman hidup sehari-hari.
4. Berfikir
secara kefilsafatan dicirikan secara koheren dan konsisten. Koheren artinya
sesuai dengan kaidah-kaidah berfikir (logis). Konsisten artinya tidak
mengandung kontradiksi. Baik koheren maupun konsisten, keduanya dapat
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, yaitu runtut. Adapun yang dimaksud runtut
adalah bagan konseptual yang disusun tidak terdiri atas pendapat-pendapat yang
saling berkontradiksi di dalamnya.
5. Berfikir
secara kefilsafatan dicirikan secara sistematik. Sistematik berasal dari kata
sistem yang artinya kebulatan dari sejumlah unsur yang saling berhubungan
menurut tata pengaturan untuk mencapai sesuatu maksud atau menunaikan sesuatu
peranan tertentu. Dalam mengemukakan jawaban terhadap sesuatu masalah, digunakan
pendapat atau argumen yang merupakan uraian kefilsafatan yang saling
berhubungan secara teratur dan terkandung adanya maksud atau tujuan tertentu.
6. Berfikir
secara kefilsafatan dicirikan secara komprehensif. Komprehensif adalah mencakup
secara menyeluruh. Berfikir secara kefilsafatan berusaha untuk menjelaskan
fenomena yang ada di alam semesta secara keseluruhan sebagai suatu sistem.
7. Berfikir
secara kefilsafatan dicirikan secara bebas. Sampai batas-batas yang luas, setiap
filsafat boleh dikatakan merupakan suatu hasil dari pemikiran yang bebas. Bebas
dari prasangka-prasangka sosial, historis, kultural, atau religius. Sikap-sikap
bebas demikian ini banyak dilukiskan oleh filsuf-filsuf dari segala zaman. Socrates
memilih minum racun dan menatap maut daripada harus mengorbankan kebebasannya
untuk berpikir menurut keyakinannya. Spinoza karena khawatir kehilangan
kebebasannya untuk berfikir, menolak pengangkatannya sebagai guru besar
filsafat pada Universitas Heidelberg.
8. Berfikir
secara kefilsafatan dicirikan dengan pemikiran yang bertanggungjawab. Pertangungjawaban
yang pertama adalah terhadap hati nuraninya. Di sini tampak hubungan antara
kebebasan berfikir dalam filsafat dengan etika yang melandasinya.
Sebagaimana
berfikir secara kefilsafatan, maka pemikiran filsafat hukum juga memiliki
beberapa sifat atau karakteritik khusus yang membedakannya dengan ilmu-ilmu
lain. Pertama, filsafat hukum memiliki karakteristik yang bersifat menyeluruh dan
universal. Dengan cara berfikir holistik tersebut, maka siapa saja yang
mempelajari filsafat hukum diajak untuk berwawasan luas dan terbuka. Mereka
diajak untuk menghargai pemikiran, pendapat dan pendirian orang lain. Itulah
sebabnya dalam filsafat hukumpun dikenal pula berbagai aliran pemikiran tentang
hukum, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dengan demikian diharapkan
para cendekiawan hukum, tidak bersikap arogan dan apriori, bahwa disiplin ilmu
yang dimilikinya lebih tinggi dengan disiplin ilmu yang lainnya.
Kemudian
filsafat hukum dengan sifat universalitasnya, memandang kehidupan secara
menyeluruh, tidak memandang hanya bagian-bagian dari gejala kehidupan saja atau
secara partikular. Dengan demikian filsafat hukum dapat menukik pada persoalan
lain yang relevan atau menerawang pada keseluruhan dalam perjalanan
reflektifnya, tidak sekedar hanya memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. Dalam
filsafat hukum, pertimbangan-pertimbangan di luar obyek adalah salah satu ciri
khasnya. Filsafat hukum tidak bersifat bebas nilai. Justru filsafat hukum
menimba nilai yang berasal dari hidup dan pemikiran.
Ciri
yang kedua, filsafat hukum juga memiliki sifat yang mendasar atau memusatkan
diri pada pertanyaan-pertanyaan mendasar (basic or fundamental questions). Artinya
dalam menganalisis suatu masalah, seseorang diajak untuk berpikir kritis dan
radikal. Dengan mempelajari dan memahami filsafat hukum berarti diajak untuk
memahami hukum tidak dalam arti hukum positif belaka. Orang yang mempelajari
hukum dalam arti positif belaka, tidak akan mampu memanfaatkan dan
mengembangkan hukum secara baik. Apabila orang itu menjadi hakim misalnya, dikhawatirkan
ia akan menjadi hakim yang bertindak selaku “corong undang-undang” semata.
Ciri
berikutnya yang tidak kalah pentingnya adalah sifat filsafat yang spekulatif. Sifat
ini tidak boleh diartikan secara negatif sebagai sifat gambling. Sebagai
dinyatakan oleh Suriasumantri , bahwa semua ilmu yang berkembang saat ini
bermula dari sifat spekulatif tersebut. Sifat ini mengajak mereka yang
mempelajari filsafat hukum untuk berpikir inovatif, selalu mencari sesuatu yang
baru. Memang, salah satu ciri orang yang berpikir radikal adalah senang kepada
hal-hal yang baru. Tentu saja tindakan spekulatif yang dimaksud di sini adalah
tindakan yang terarah, yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dengan
berpikir spekulatif dalam arti positif itulah hukum dapat dikembangkan ke arah
yang dicita-citakan bersama. Secara spekulatif, filsafat hukum terjadi dengan
pengajuan pertanyaan-pertanyaan mengenai hakekat hukum. Pertanyaan-pertanyaan
itu menimbulkan rasa sangsi dan rasa terpesona atas suatu kebenaran yang
dikandung dalam suatu persoalan. Apabila jawaban-jawabannya diperoleh maka
jawaban-jawaban itu disusun dalam suatu sistem pemikiran yang universal dan
radikal.
Kemudian
ciri yang lain lagi adalah sifat filsafat yang reflektif kritis. Melalui sifat
ini, filsafat hukum berguna untuk membimbing kita menganalisis masalah-masalah
hukum secara rasional dan kemudian mempertanyakan jawaban itu secara terus
menerus. Jawaban tersebut seharusnya tidak sekedar diangkat dari gejala-gejala
yang tampak, tetapi sudah sampai kepada nilai-nilai yang ada dibalik gejala-gejala
itu. Analisis nilai inilah yang membantu kita untuk menentukan sikap secara
bijaksana dalam menghadapi suatu masalah kongkret. Secara kritis, filsafat
hukum berusaha untuk memeriksa gagasan-gagasan tentang hukum yang sudah ada, melihat
koherensi, korespodensi dan fungsinya. Filsafat hukum berusaha untuk memeriksa
nilai dari pernyataan-pernyataan yang dapat dikategorikan sebagai hukum.
Filsafat
itu juga bersifat introspektif atau mempergunakan daya upaya introspektif. Artinya,
filsafat tidak hanya menjangkau kedalaman dan keluasan dari permasalahan yang
dihadapi tetapi juga mempertanyakan peranan dari dirinya dan dari permasalahan
tersebut. Filsafat mempertanyakan tentang struktur yang ada dalam dirinya dan
permasalahan yang dihadapinya. Sifat introspektif dari filsafat sesuai dengan
sifat manusia yang memiliki hakekat dapat mengambil jarak (distansi) tidak
hanya pada hal-hal yang berada di luarnya tetapi juga pada dirinya sendiri.
Sebagai
bahan perbandingan, Radhakrisnan dalam bukunya The History of Philosophy, mengemukakan
pula tentang arti penting mempelajari filsafat, termasuk dalam hal ini
mempelajari filsafat hukum, bukanlah sekedar mencerminkan semangat masa ketika
kita hidup, melainkan membimbing kita untuk maju. Fungsi filsafat adalah
kreatif, menetapkan nilai, menetapkan tujuan, menentukan arah, dan menuntun
pada jalan baru. Filsafat hendaknya mengilhamkan keyakinan kepada kita untuk
menopang dunia baru, mencetak manusia-manusia yang tergolong ke dalam berbagai
bangsa, ras dan agama itu mengabdi kepada cita-cita mulia kemanusiaan. Filsafat
tidak ada artinya sama sekali apabila tidak universal, baik dalam ruang
lingkupnya maupun dalam semangatnya.
Adanya
karakteristik khusus dari pemikiran filsafat hukum di atas sekaligus juga
menunjukkan arti pentingnya. Dengan mengetahui dan memahami filsafat hukum
dengan berbagai sifat dan karakternya tersebut, maka sebenarnya filsafat hukum
dapat dijadikan salah satu alternatif untuk ikut membantu memberikan jalan
keluar atau pemecahan terhadap berbagai krisis permasalahan yang menimpa bangsa
Indonesia dalam proses reformasi ini. Tentu saja kontribusi yang dapat diberikan
oleh filsafat hukum dalam bentuk konsepsi dan persepsi terhadap pendekatan yang
hendak dipakai dalam penyelesaian masalah-masalah yang terjadi. Pendekatan mana
didasarkan pada sifat-sifat dan karakter yang melekat pada filsafat hukum itu
sendiri.
Dengan
pendekatan dan analisis filsafat hukum, maka para para pejabat, tokoh
masyarakat, pemuka agama dan kalangan cendekiawan atau siapapun juga dapat
bersikap lebih arif dan bijaksana serta mempunyai ruang lingkup pandangan yang
lebih luas dan tidak terkotak-kotak yang memungkinkan dapat menemukan akar
masalahnya. Tahap selanjutnya diharapkan dapat memberikan solusi yang tepat. Karena
penyelesaian krisis yang terjadi di negara kita itu tidak mungkin dapat
dilakukan sepotong-potong atau hanya melalui satu bidang tertentu saja, tapi
harus meninjau melalui beberapa pendekatan lain sekaligus (interdisipliner.atau
multidisipliner).
Tidak
ada lagi pihak-pihak yang merasa dirinya paling benar atau paling jago dengan
pendapatnya sendiri dan menafikan pendapat yang lain. Atau dengan kata lain
hanya ingin menangnya sendiri tanpa mau menghargai pendapat orang lain. Karena
masing-masing bidang atau cara pandang tertentu, mempunyai kelebihan dan
keterbatasannya masing-masing. Justru pandangan-pandangan yang berbeda kalau dapat
dikelola dengan baik, dapat dijadikan alternatif penyelesaian masalah yang
saling menopang satu sama lain.
Apalagi krisis permasalahan yang melanda
bangsa Indonesia sesungguhnya amat kompleks dan multidimensional sifatnya, mulai
krisis ekonomi, politik, hukum, pemerintahan serta krisis moral dan budaya, yang
satu sama lain berkaitan sehingga diperlukan cara penyelesaian yang terpadu dan
menyeluruh yang melibatkan berbagai komponen bangsa yang ada. Dalam konteks
ini diperlukan adanya kerjasama dan sinergi yang erat dari berbagai komponen
tersebut. Maka pejabat pemerintah harus mendengar aspirasi dari rakyat, para
pakar mau mendengar pendapat pakar lainnya, tokoh masyarakat harus saling
menghormati terhadap dengan tokoh masyarakat yang lain. Semua bekerja bahu
membahu dan menghindarkan diri dari rasa curiga, kebencian dan permusuhan. Dengan
pendekatan dan kerangka berfikir filsafati seperti di atas, diharapkan dapat
membantu ke arah penyelesaian krisis yang sedang menerpa bangsa Indonesia saat
ini.
- Antologi = apa itu
BalasHapus- Epistimologi = mengapa
- Aksiologi = bagaimana
Trimakasih Potingan nya Pak.Sukris