Riba
dan Keharamannya
Dr. H. A. Sukris Sarmadi, MH
Islam mengharamkan setiap hubungan bisnis
yang mengandung kezhaliman dan mewajibkan terpenuhi nya keadilan yang
teraplikasikan dalam setiap hubungan dan kontrak-kontrak bisnis. Allah
mengharamkan riba karena mengandung ketidak adilan, di mana si peminjam tidak
mendapatkan jaminan keuntungan, sementara si pemilik modal mendapatkan jaminan
keuntungan yang tetap. Al-Qur’an telah mengumumkan perang dari Allah dan
Rasul-Nya terhadap orang-orang yang melakukan nya (QS. Al-Baqarah : 278-279).
Nabi saw. memasukkan riba ke dalam tujuh macam dosa yang menghancurkan, “
Jauhilah tujuh macam dosa yang membinasakan “ kata beliau, dan beliaupun
menyebut “ makan riba “. Sebagaimana beliau juga memandang riba sebagai salah satu
dari kedua perbuatan hina yang jika tersebar di masyarakat, akan mendatangkan
azab Allah. Sabda beliau “ Jika telah tampak di suatu negeri perbuatan riba dan
zina, maka mereka telah menghalalkan datangnya azab Allah pada mereka “.
Permasalahannya sekarang adalah apakah
pengertian riba yang diharamkan Allah, ada berapa macam, apa bahayanya,
Pengertian Riba
Riba secara bahasa berasal
dari kata yang berarti al-ziyadah / tambahan dan al-numuwwu / tumbuh dan berkem
bang). Dikatakan apabila harta itu bertambah dan berkembang. Dalam al-Qur’an
surat al-Hajj ayat 5 Allah berfirman : , artinya : “ Dan kamu lihat bumi ini
kering, kemudian apabila Kami telah turunkan air di atasnya, hiduplah bumi dan
suburlah …”. Kata dalam ayat di atas artinya bertambah dan subur.
Menurut istilh ulama fiqh riba
adalah : “ Tambahan harta tanpa adanya ‘iwadh ( padanan ) dalam transaksi harta
dengan harta “. Atau : Tambahan dalam hal-hal tertentu “. Dari definisi di atas
dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian riba berkisar pada tambahan.
III. Macam-Macam Riba
Riba yang diharamkan dalam
Islam menurut kebanyakan ulama ada dua macam :
1) Riba al-nasi’ah.
Nasi’ah artinya menangguhkan
dan mengakhirkan. Jadi riba nasi’ah ialah tambahan yang disyaratkan yang
diambil si pemberi utang dari yang berutang karena penangguhan pembayaran.
Dalil-dalil yang mengharamkan, mencela dan mengancam riba terutama masuk di
dalamnya riba nasi’ah. Riba inilah yang terkenal pada masa Jahiliyyah, kemudian
al-Qur’an datang melarang, mencela dan mengancamnya sebagaimana telah
disebutkan di atas. Hadits juga menjelaskan riba ini sebagaimana dalam hadits
Usamah bin Zaid bahwa Nabi saw. bersabda : artinya, “Tidak ada riba kecuali
riba nasi’ah “ ( Muttafaq ‘alaih )
2) Riba al-Fadhl
Al-Fadhl secara bahasa artinya
lawan dari al-naqsh atau kurang. Jadi riba fadhl adalah menjual uang dengan
uang atau menjual makanan dengan makanan dengan ada tambahan.
Riba ini juga diharamkan
berdasarkan beberapa hadits, antara lain : Dari Abu Said al-Khudri ra. berkata
: Rasulullah saw. bersabda : “ Emas hendaklah dibayar dengan emas, perak dengan
perak, gandum dengan gandum, tepung dengan tepung, kurma dengan kurma, garam
dengan garam, bayaran harus sama dan dari tangan ke tangan ( kontan ).
Barangsiapa memberi tambahan atau meminta tambahan, sesungguhnya ia telah
berbuat riba, penerima dan pemberi sama-sama bersalah “. ( HR. Muslim )
Madzhab Syafi’I menambahkan
jenis ketiga yang dinamakan riba al-yad, yaitu penangguhan penerimaan dua
barang yang ditukarkan atau salah satunya. Sebagian madzhab Syafi’I juga
menambahkan jenis keempat yang dinamakan riba al-qardh, yaitu utang yang
disyaratkan mendapatkan keuntungan.
IV. Bahaya Riba
merupakan tindakan yang
bertentangan dengan syari’at Islam. Riba berdiri di atas dasar mengeruk
keuntungan. Seorang periba tidak berfikir tentang prinsip, tujuan dan moral,
yang ia fikirkan adalah bagaimana dapat menghasilkan uang sebanyak-banyaknya
dengan cara apapun juga. Hal ini menumbuhkan lahirnya suatu sistem yang dapat
membahayakan ummat manusia, baik secara perorangan maupu kelompok, bangsa
maupun negara. Bahaya yang ditimbulkan riba paling tidak bisa dilihat dari tiga
aspek.
1. Aspek moral
Dengan memperhatikan praktek
riba, kita dapatkan bahwa riba dimulai dari keinginan untuk mengumpulkan harta.
Dari keinginan mengumpulkan harta ini, lahirlah sifat-sifat seperti egoistis,
kikir, pemujaan terhadap materi dan sifat-sifat rendah lainnya. Pada akhirnya
si pelaku riba, memiliki jiwa yang busuk yang perhatiannya hanya bagaimana
dapat mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya dengan cara apapun juga.
2. Aspek sosial kemasyarakatan
Suatu masyarakat yang
anggota-anggotanya bersifat egoistis dan tidak pernah membantu orang lain
kecuali kalau menghasilkan keuntungan, menyebabkan lahirnya suatu tindakan
penindasan terhadap orang yang lemah untuk kepentingan orang yang kuat.
Sebagaimana juga akan menyebabkan lahirnya suatu lapisan masyarakat yang
semakin kaya dengan merugikan lapisan yang lain. Pada akhirnya muncullah sifat
iri dan dengki yang dapat mengobarkan permusuhan sesama anggota masyarakat.
Riba juga mendidik orang untuk
tidak menggunakan potensinya yang dianugrahkan Allah dalam hal-hal yang
bermanfaat dan mendatangkan hasil. Ia malas untuk bekerja dan berusaha apabila
bunga simpanan uangnya di bank umpamanya dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.
Jadilah ia seorang anggota masyarakat yang rusak, di mana praktek riba menjadi
karakter dan kebiasaannya dalam berinteraksi dengan orang lain. Dengan demikian
rusaklah kehidupan bermasyarakat disebabkan jiwa rakus dan egoistis yang ia
tiupkan di tengah-tengah masyarakat.
Masyarakat yang semacam ini,
sendi-sendinya akan cepat mengalami kehancuran. Sebaliknya masyarakat yang
dibangun atas dasar jiwa saling tolong menolong dan bantu membantu,
sendi-sendinya akan tetap kokoh tidak mudah dihancurkan.
3.Aspek ekonomi
Riba dalam pinjaman konsumtif
memungkinkan para pemilik modal untuk mendapatkan bagian terbesar dari
pendapatan para pegawai yang sudah kecil. Kadang-kadang gaji mereka tidak dapat
menutupi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Akibatnya para pegawai itu
dirundung keperihatinan dan kesedihan yang berdampak kepada menurunya gairah
dan semangat kerja. Dari sisi lain dengan pembayaran pinjaman,
berarti si periba menghilangkan daya beli si pegawai tadi. Ini sudah barang
tentu membahayakan perekonomian negara.
Sedangkan dalam pinjaman
produktif kita dapatkan bahwa para pemilik modal tidak berpartisipasi dalam
proyek-proyek perdagangan, perindustrian dan pertanian kecuali sekedar untuk
mendapatkan keuntungan. Mereka tidak memikirkan bagaimana dapat meningkatkan
daya kerja yang akan membawa kepada peningkatan produksi dan sekaligus membawa
kepada keuntungan, karena keuntungan mereka sudah terjamin dalam kondisi
apapun. Ini juga sudah barang tentu membahayakan perekonomian
negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar