Senin, 26 Maret 2012

Riba dan Keharamannya


Riba dan Keharamannya
Dr. H. A. Sukris Sarmadi, MH

Islam mengharamkan setiap hubungan bisnis yang mengandung kezhaliman dan mewajibkan terpenuhi nya keadilan yang teraplikasikan dalam setiap hubungan dan kontrak-kontrak bisnis. Allah mengharamkan riba karena mengandung ketidak adilan, di mana si peminjam tidak mendapatkan jaminan keuntungan, sementara si pemilik modal mendapatkan jaminan keuntungan yang tetap. Al-Qur’an telah mengumumkan perang dari Allah dan Rasul-Nya terhadap orang-orang yang melakukan nya (QS. Al-Baqarah : 278-279). Nabi saw. memasukkan riba ke dalam tujuh macam dosa yang menghancurkan, “ Jauhilah tujuh macam dosa yang membinasakan “ kata beliau, dan beliaupun menyebut “ makan riba “. Sebagaimana beliau juga memandang riba sebagai salah satu dari kedua perbuatan hina yang jika tersebar di masyarakat, akan mendatangkan azab Allah. Sabda beliau “ Jika telah tampak di suatu negeri perbuatan riba dan zina, maka mereka telah menghalalkan datangnya azab Allah pada mereka “.
Permasalahannya sekarang adalah apakah pengertian riba yang diharamkan Allah, ada berapa macam, apa bahayanya,
Pengertian Riba
Riba secara bahasa berasal dari kata yang berarti al-ziyadah / tambahan dan al-numuwwu / tumbuh dan berkem bang). Dikatakan apabila harta itu bertambah dan berkembang. Dalam al-Qur’an surat al-Hajj ayat 5 Allah berfirman : , artinya : “ Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila Kami telah turunkan air di atasnya, hiduplah bumi dan suburlah …”. Kata dalam ayat di atas artinya bertambah dan subur.

Menurut istilh ulama fiqh riba adalah : “ Tambahan harta tanpa adanya ‘iwadh ( padanan ) dalam transaksi harta dengan harta “. Atau : Tambahan dalam hal-hal tertentu “. Dari definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian riba berkisar pada tambahan.
III. Macam-Macam Riba
Riba yang diharamkan dalam Islam menurut kebanyakan ulama ada dua macam :
1) Riba al-nasi’ah.
Nasi’ah artinya menangguhkan dan mengakhirkan. Jadi riba nasi’ah ialah tambahan yang disyaratkan yang diambil si pemberi utang dari yang berutang karena penangguhan pembayaran. Dalil-dalil yang mengharamkan, mencela dan mengancam riba terutama masuk di dalamnya riba nasi’ah. Riba inilah yang terkenal pada masa Jahiliyyah, kemudian al-Qur’an datang melarang, mencela dan mengancamnya sebagaimana telah disebutkan di atas. Hadits juga menjelaskan riba ini sebagaimana dalam hadits Usamah bin Zaid bahwa Nabi saw. bersabda : artinya, “Tidak ada riba kecuali riba nasi’ah “ ( Muttafaq ‘alaih )
2) Riba al-Fadhl
Al-Fadhl secara bahasa artinya lawan dari al-naqsh atau kurang. Jadi riba fadhl adalah menjual uang dengan uang atau menjual makanan dengan makanan dengan ada tambahan.
Riba ini juga diharamkan berdasarkan beberapa hadits, antara lain : Dari Abu Said al-Khudri ra. berkata : Rasulullah saw. bersabda : “ Emas hendaklah dibayar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, tepung dengan tepung, kurma dengan kurma, garam dengan garam, bayaran harus sama dan dari tangan ke tangan ( kontan ). Barangsiapa memberi tambahan atau meminta tambahan, sesungguhnya ia telah berbuat riba, penerima dan pemberi sama-sama bersalah “. ( HR. Muslim )
Madzhab Syafi’I menambahkan jenis ketiga yang dinamakan riba al-yad, yaitu penangguhan penerimaan dua barang yang ditukarkan atau salah satunya. Sebagian madzhab Syafi’I juga menambahkan jenis keempat yang dinamakan riba al-qardh, yaitu utang yang disyaratkan mendapatkan  keuntungan.
IV. Bahaya Riba
merupakan tindakan yang bertentangan dengan syari’at Islam. Riba berdiri di atas dasar mengeruk keuntungan. Seorang periba tidak berfikir tentang prinsip, tujuan dan moral, yang ia fikirkan adalah bagaimana dapat menghasilkan uang sebanyak-banyaknya dengan cara apapun juga. Hal ini menumbuhkan lahirnya suatu sistem yang dapat membahayakan ummat manusia, baik secara perorangan maupu kelompok, bangsa maupun negara. Bahaya yang ditimbulkan riba paling tidak bisa dilihat dari tiga aspek.
1. Aspek moral
Dengan memperhatikan praktek riba, kita dapatkan bahwa riba dimulai dari keinginan untuk mengumpulkan harta. Dari keinginan mengumpulkan harta ini, lahirlah sifat-sifat seperti egoistis, kikir, pemujaan terhadap materi dan sifat-sifat rendah lainnya. Pada akhirnya si pelaku riba, memiliki jiwa yang busuk yang perhatiannya hanya bagaimana dapat mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya dengan cara apapun juga.
2. Aspek sosial kemasyarakatan
Suatu masyarakat yang anggota-anggotanya bersifat egoistis dan tidak pernah membantu orang lain kecuali kalau menghasilkan keuntungan, menyebabkan lahirnya suatu tindakan penindasan terhadap orang yang lemah untuk kepentingan orang yang kuat. Sebagaimana juga akan menyebabkan lahirnya suatu lapisan masyarakat yang semakin kaya dengan merugikan lapisan yang lain. Pada akhirnya muncullah sifat iri dan dengki yang dapat mengobarkan permusuhan sesama anggota  masyarakat.
Riba juga mendidik orang untuk tidak menggunakan potensinya yang dianugrahkan Allah dalam hal-hal yang bermanfaat dan mendatangkan hasil. Ia malas untuk bekerja dan berusaha apabila bunga simpanan uangnya di bank umpamanya dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Jadilah ia seorang anggota masyarakat yang rusak, di mana praktek riba menjadi karakter dan kebiasaannya dalam berinteraksi dengan orang lain. Dengan demikian rusaklah kehidupan bermasyarakat disebabkan jiwa rakus dan egoistis yang ia tiupkan di tengah-tengah masyarakat.
Masyarakat yang semacam ini, sendi-sendinya akan cepat mengalami kehancuran. Sebaliknya masyarakat yang dibangun atas dasar jiwa saling tolong menolong dan bantu membantu, sendi-sendinya akan tetap kokoh tidak mudah dihancurkan.
3.Aspek ekonomi
Riba dalam pinjaman konsumtif memungkinkan para pemilik modal untuk mendapatkan bagian terbesar dari pendapatan para pegawai yang sudah kecil. Kadang-kadang gaji mereka tidak dapat menutupi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Akibatnya para pegawai itu dirundung keperihatinan dan kesedihan yang berdampak kepada menurunya gairah dan semangat kerja. Dari sisi lain dengan pembayaran pinjaman, berarti si periba menghilangkan daya beli si pegawai tadi. Ini sudah barang tentu membahayakan perekonomian negara.
Sedangkan dalam pinjaman produktif kita dapatkan bahwa para pemilik modal tidak berpartisipasi dalam proyek-proyek perdagangan, perindustrian dan pertanian kecuali sekedar untuk mendapatkan keuntungan. Mereka tidak memikirkan bagaimana dapat meningkatkan daya kerja yang akan membawa kepada peningkatan produksi dan sekaligus membawa kepada keuntungan, karena keuntungan mereka sudah terjamin dalam kondisi apapun. Ini juga sudah barang tentu membahayakan perekonomian negara.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar