JENIS-JENIS AKAD DALAM
PERBANKAN SYARI’AH
(TABARRU DAN TIJARI)
Oleh Drs. H.M. Azhari,
M.HI.
PENDAHULUAN
Akad berasal dari bahasa Arab ‘aqada
artinya mengikat atau mengokohkan. Secara bahasa pengertiannya adalah ikatan,
mengikat. Dikatakan ikatan (al-rabath) maksudnya adalah menghimpun atau
mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan
salah satunya pada yang lainnya, hingga keduanya bersambung dan menjadi
seperti seutas tali yang satu.
Dalam Al-Qur’an kata al-aqdu terdapat pada
surat Al-Maidah ayat 1, bahwa manusia diminta untuk memenuhi akadnya. Menurut
Gemala Dewi S.H. beliau mengutip pendapat Fathurrahman Djamil, istilah al-aqdu
dapat disamakan dengan istilah verbentenis dalam KUH Perdata.[1]
Menurut Fiqh Islam akad berarti perikatan,
perjanjian dan permufakatan (ittifaq). Dalam kaitan ini peranan Ijab
(pernyataan melakukan ikatan) dan Qabul (pernyataan menerima ikatan) sangat
berpengaruh pada objek perikatannya, apabila ijab dan qabul sesuai dengan
ketentuan syari’ah, maka munculah segala akibat hukum dari akad yang disepakati
tersebut.
Menurut Musthafa Az-Zarka suatu akad
merupakan ikatan secara hukum yang dilakukan oleh dua atau beberapa pihak yang
sama-sama berkeinginan mengikatkan dirinya. Kehendak tersebut sifatnya
tersembunyi dalam hati, oleh karena itu menyatakannya masing-masing harus
mengungkapkan dalam suatu pernyataan yang disebut Ijab dan Qabul.[2]
Syarat umum yang harus dipenuhi suatu akad
menurut ulama fiqh antara lain, pihak-pihak yang melakukan akad telah cakap
bertindak hukum, objek akad harus ada dan dapat diserahkan ketika akad
berlangsung, akad dan objek akadnya tidak dilarang syara’, ada manfaatnya, ijab
dan qabul dilakukan dalam satu majelis dan tujuan akad harus jelas dan diakui
syara’.
Karena itulah ulama fiqh menetapkan
apabila akad telah memenuhi rukun dan syarat mempunyai kekuatan mengikat
terhadap pihak-pihak yang melakukan akad. Hal ini sejalan dengan Firman Allah
SWT. Dalam surat Al-Maidah ayat 5 yang
artinya “ Hai orang-orang beriman, penuhilah akad-akad itu.
Dalam kaitannya dengan praktek perbankan Syari’ah dan ditinjau dari segi
maksud dan tujuan dari akad itu sendiri dapat digolongkan kepada dua jenis
yakni Akad Tabarru dan Akad Tijari.
I.
AKAD TABARRU
Akad Tabarru yaitu akad yang dimaksudkan
untuk menolong sesama dan murni semata-mata mengharap ridha dan pahala dari
Allah SWT, sama sekali tidak ada unsur mencari return, ataupun suatu motif.
Yang termasuk katagore akad jenis ini diantaranya adalah Hibah, Ibra, Wakalah, Kafalah, Hawalah, Rahn dan Qirad..[3]
Selain itu menurut penyusun Eksiklopedi
Islam termasuk juga dalam kategori akad Tabarru seperti Wadi’ah, Hadiah, hal
ini karena tiga hal tersebut merupakan bentuk amal perbuatan baik dalam
membantu sesama,oleh karena itu dikatakan bahwa akad Tabarru adalah suatu
transaksi yang tidak berorientasi komersial atau non profit oriented. Transaksi
model ini pada prinsipnya bukan untuk mencari keuntungan komersial akan tetapi
lebih menekankan pada semangat tolong menolong dalam kebaikan (ta’awanu alal
birri wattaqwa).
Dalam akad ini pihak yang berbuat kabaikan
(dalam hal ini pihak bank) tidak mensyaratkan keuntungan apa-apa. Namun
demikian pihak bank itu dibolehkan meminta biaya administrasi untuk menutupi
(cover the cost) kepada nasabah (counter-part) tetapi tidak boleh mengambil
laba dari akad ini.
HIBAH. (Pemberian)
Pengertian Hibah adalah pemilikan terhadap
sesuatu pada masa hidup tanpa meminta ganti. Hibah tidak sah kecuali dengan
adanya ijab dari orang yang memberikan, tetapi untuk sahnya hibah tersebut
menurut Imam Qudamah dari Umar bahwa sahnya hibah itu tidak disyaratkan
pernyataan qabul dari si penerima hadiah.
Hal ini berdasarkan hadits bahwa Ibnu Umar
berhutang unta kepada Umar, Rasulullah berkata kepada Umar dengan mata beliau.
Umar berkata; Unta itu untukmu wahai Rasulullah. Rasulullah berkata: “Unta itu
untukmu wahai Abdullah bin Umar, pergunakanlah sesuka hatimu”. Disini tidak ada
pernyataan qabul dari nabi ketika menerima pemberian unta, juga tidak ada
pernyataan qabul dari ibnu Umar ketika menerimanya dari Rasulullah.saw.
Pemberian (hibah) itu sah menurut syara’
dengan syarat-syarat antara lain
-
Si pemberi hibah (wahib) sudah bisa dalam mengelola keuangannya.
-
Hibah (barang/harta yang diberikan) harus jelas
- Kepemilikan terhadap barang hibah itu
terjadi apabila pemberian (hibah) tersebut sudah berada ditangan si
penerima.(muhab).
1. IBRA
Menurut arti kata Ibra sama dengan
melepaskan, mengikhlaskan atau menjauhkan diri dari sesuatu.
Menurut istilah Fiqh Ibra adalah
pengguguran piutang dan menjadikannya milik orang yang berhutang.
Menurut syari’at Islam Ibra merupakan
salah satu bentuk solidaritas dan sikap saling menolong dalam kebajikan yang
sangat dianjurkan syari’at Islam,
seperti dikemukakan dalam firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 280 yang
artinya:
“Dan jika seseorang (yang berhutang itu)
dalam kesukaran maka berilah ia tangguh sampai ia berkelapangan. Dan
menyedekahkan sebagian atau seluruh hutang itu lebih baik bagimu, jika kamu
mengetahui”.
Sehubungan dengan mendefinisikan Ibra
terutama dari segi makna “ penggugaran” dan “ pemilikan” para ulama fiqh
berbeda pendapat, antara lain sbb :
Ulama Madzhab Hanafi menyatakan bahwa Ibra
lebih dapat diartikan pengguguran, meskipun makna pemilikan tetap ada.
Menurut Madzhab Maliki disamping bertujuan
menggugurkan piutang, ibra juga dapat menggugurkan hak milik seseorang jika
ingin digugurkannya. Ketika hak milik terhadap suatu benda digugurkan oleh
pemiliknya, maka statusnya sama dengan hibah.
Menurut Madzhab Syafi’i, sebagian ulama
mengatakan bahwa Ibra mengandung pengertian pemilikan utang untuk orang yang
berhutang. Sebagian ulama lainnya mengartikan pengguguran, seperti yang
dikemukakan Madzhab Hanafi.
Dari semua pendapat-pendapat ulama
tersebut di atas pendapat yang terakhir ini yang paling shahih.
2. WAKALAH
Al-Wakalah menurut bahasa Arab dapat
dipahami sebagai at-Tafwidh. Yang dimaksudkan adalah bentuk penyerahan,
pendelagasian atau pemberian mandat dari seseorang kepada orang lain yang
dipercayainya. Yang dimaksudkan dalam pembahasan ini wakalah yang merupakan
salah salah satu jenis akad yakni pelimpahan kekuasaan oleh seseorang kepada
orang lain dalam hal-hal yang diwakilkan.
Agama Islam mensyari’atkan al-wakalah
karena manusia membutuhkannya. Hal ini karena tidak setiap orang mempunyai
kemampuan atau kesempatan untuk menyelesaikan urusannya sendiri, terkadang
suatu kesempatan seseorang perlu mendelegasikan suatu pekerjaan/urusan
pribadinya kepada orang lain untuk mewakili dirinya. Dalil syara’ yang
membolehkan wakalah didapati dalam firman Allah pada surat Al-Kahfi :19, yang
terjemahannya sbb: .
...Maka suruhlah salah seorang diantara
kamu pergi ke kota dengan membawa
uang perakmu ini, dan hendaklah dia
lihat manakah makakan yang lebih baik Dan bawalah sebagian makanan itu untukmu,
dan hendaklah dia berlaku lemah lembut dan jangan sekali-kali menceritakan
halmu kepada siapapun”.
Dalam ayat ini dilukiskan perginya salah
seorang dari ash-habul kahfi yang bertindak untuk dan atas nama rekan-rekannya
sebagai wakil mereka dalam memilih dan membeli makanan.
Selain itu dalam ayat 55 urat Yusuf
disebutkan yang terjemahannya : “Dia (Yusuf) berkata “Jadikanlah aku
bendaharawan negeri (Mesir) karena aku sesungguhnya orang yang pandai menjaga
dan berpengetahuan”.
Dalam konteks ini nabi Yusuf siap untuk
menjadi wakil dan pengemban amanah menjaga. Federal Rserve “ negeri Mesir.
Disamping ayat al-Qur’an ada juga hadits
Nabi Muhammad SAW riwayat Imam Malik terdapat dalam kitab Al-Muawaththa yang
artinya :
“Bahwasanya Rasulullah SAW mewakilkan kepada
Abu Rafii dan seorang Anshar untuk mewakilinya mengawini Maimunah binti Harits.
Dalam kehidupan sehari-hari Rasulullah saw
telah mewakilkan kepada orang lain untuk berbagai urusan, seperti membayar
utang, penetapan had dan membayarnya, pengurusan unta, membagi kandang hewan
dan lain-lain.
Oleh karena itulah para ulama sepakat
bahwa dalil kebolehan wakalah juga didasarkan dengan ijma ulama dan bahkan ada
ulama yang sampai mensunnahkannya dengan alasan karena hal tersebut termasuk
jenis ta’awun atau bentuk tolong menolong atas dasar kebaikan.
Aplikasi wakalah dalam konteks akad
tabarru dalam perbankan Syari’ah berbentuk jasa pelayanan, dimana Bank Syari’ah
memberikan jasa wakalah, sebagai wakil dari nasabah sebagai pemberi kuasa
(muwakil) untuk melakukan sesuatu (taukil). Dalam hal ini Bank akan mendapatkan
upah atau biaya administrasi atas jasanya tersebut. Sebagai contoh bank dapat
menjadi wakil untuk melakukan pembayaran tagihan listrik atau telpon kepada perusahaan
listrik atau perusahaan telpon.
3. KAFALAH ( Guaranty)
Pengertian kafalah menurut bahasa berati
al-dhaman (jaminan), hamalah (beban) dan za’amah (tanggungan). Sedangkan
menurut istilah adalah akad pemberian jaminan yang diberikan oleh satu pihak
kepada pihak lain, dimana pemberi jaminan (kaafil) bertanggungjawab atas pembayaran kembali suatu utang yang menjadi hak penerima jaminan (makful).
Dalam pengertian lain, kafalah juga berti
mengalihkan tanggungjawab seseorang yang dijamin dengan berpegang pada tanggung
jawab orang lain sebagai penjamin.
Dasar disyari’atkan kafalah Firman Allah
dalam surat Yusuf ayat 72: yang terjemahannya adalah :
“ Kami kehilangan alat takar dan siapa yang dapat mengembalikannya akan
memperoleh bahan makanan seberat beban unta, dan aku jamin itu “
Dalam tersebut kata Za’im yang berarti
penjamin, dalam kaitan cerita nabi Yusuf AS ini gharim atau orang yang
bertanggung jawab atas pembayaran.
4. HAWALAH
Dalam enseklopedi Perbankan Syari’ah
Hawalah bisa disebut juga Hiwalah yang berarti intiqal (perpindahan),
pengalihan, atau perubahan sesuatu atau memikul sesuatu di atas pundak.
Menurut istilah Hawalah diartikan sebagai
pemindahan utang dari tanggungan penerima utang (ashil) kepada tannggugan yang
bertanggujawab (mushal alih) dengan
cara adanya penguat. Atau dengan kata lain
adalah pemindahan hak atau kewajiban yang dilakukan seseorang (pihak pertama)
yang sudah tidak sanggup lagi untuk membayarnya kepada pihak kedua yang
memiliki kemampuan untuk mengambil alih atau untuk menuntut pembayaran utang
dari/atau membayar utang kepada pihak ketiga.
5. RAHN (Gadai)
Pengertian Gadai (Rahn)
Gadai (Rahn) secara etimologis (pendekatan
kebahasaan/lughawi) sama pengertiannya dengan ????- ????- ??? yang berarti
tetap, kekal, tahanan.
Gadai (rahn) menurut pengertian
terminologi (istilah) terdapat beberapa pendapat, diantaranya menurut Sayyid
Sabiq, Rahn adalah menyandera sejumlah harta yang diserahkan sebagai jaminan
secara hak, tetapi dapat diambil kembali sebagai tebusan.
Menurut Muhammad Syafi’i Antonio, Rahn
(Gadai) adalah menahan salah satu harta milik sipeminjam sebagai jaminan atas
pinjaman yang diterimanya. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai
ekonomis, dengan demikian pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat
mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.
6. QARD al-Qardul Hasan
Qard bermakna pinjaman sedang al-hasan
berarti baik. Maka Qardul Hasan merupakan suatu akad perjanjian qard yang
berorientasi sosial untuk membantu meringankan beban seseorang yang membutuhkan
pertolongan. Dalam perjanjiannya, suatu Bank Syari’ah sebagai kreditor
memberikan pinjaman kepada pihak (nasabah) dengan ketentuan penerima pinjaman
akan mengembalikan pinjaman tersebut pada waktu yang telah ditentukan dalam
perjanjian akad dengan jumlah pengembalian yang ketika pinjaman itu diberikan.
Qardul Hasan atau benevolent adalah suatu
akad perjanjian pinjaman lunak diberikn atas dasar kewajiban sosial semata,
dengan dasar taa’wun (tolong menolong) kepada mereka yang tergolong lemah
ekonominya, dimana si peminjam tidak diwajibkan untuk mengembalikan apapun
kecuali modal pinjaman.
9. WADI’AH (Trustee Depository)
Pengertian dari segi bahasa adalah
meninggalkan sesuatu atau berpisah. Dalam bahasa Indonesia diartuikan sebagai titipan.
Menurut istilah Wadi’ah berarti penguasaan
orang lain untuk menjaga hartanya, baik secara sharih (jelas) maupun secara
dilalah (tersirat). Atau mengikutsertakan orang lain dalam memelihara harta,
baik dengan ungkapan jelas atau melalui
isyarat, contoh; “saya titipkan tas ini kepada anda “ lalu orang itu menjawab “
Saya terima “ Maka sempurnalah akad Wadi’ah.
Seperti jenis akad yang lain, Wadi’ah juga
merupakan akad yang bersifat tolong menolong antara sesama manusia. Para ulama
sepakat bahwa akad wadi’ah merupakan akad yang mengikat bagi kedua belah pihak.
Wadi’ atau pihak yang menerima tuitipan harus bertanggungjawab atas barang yang
dititipkan kepadanya, yang berarti menerima amanah untuk menjaganya.
II. AKAD TIJARI
Akad Tijari adalah akad yang berorientasi
pada keuntungan komersial ( for propfit oriented) Dalam akad ini masing-masing
pihak yang melakukan akad berhak untuk mencari keuntungan. Di dalam Bank
Syari’ah biasanya yang termasuk kelompok akad ini diantaranya; Murabahah,
Salam, Istisna, Musyarakah, Mudharabah, Ijarah, Ijarah muntahiya bittamlik,
Sharf, Muzaraah, Mukhabarah dan Barter.
1. MURABAHAH (Defered Payment Sale)
Menurut definisi Ulama Fiqh Murabahah
adalah akad jual beli atas barang tertentu. Dalam transasksi penjualan tersebut
penjual menyebutkan secara jelas barang yang akan dibeli termasuk harga
pembelian barang dan keuntungan yang akan diambil.
Dalam perbankan Islam, Murabahah merupakan
akad jual beli antara bank selaku penyedia barang dengan nasabah yang memesan
untuk membeli barang. Dari transaksi tersebut bank mendapatkan keuntungan jual
beli yang disepakati bersama. Selain itu murabahah juga merupakan jasa
pembiayaan oleh bank melalui transaksi jual beli dengan nasabah dengan cara
cicilan. Dalam hal ini bank membiayai pembelian barang yang dibutuhkan oleh
nasabah dengan membeli barang tersebut
dari pemasok kemudian mejualnya kepada nasabah dengan menambahkan biaya
keuntungan (cost-plus profit) dan ini dilakukan melalui perundingan terlebih
dahulu antara bank dengan pihak nasabah yang bersangkutan.
Pemilikan barang akan dialihkan kepada
nasabah secara propisional sesuai dengan cicilan yang sudah dibayar. Dengan
demikian barang yang dibeli berfungsi sebagai agunan sampai seluruh biaya
dilunasi.
2.MUDHARABAH
Secara teknis Mudharabah adalah akad
kerjasama usaha antara dua pihak di mana pihak pertama (shahibul mal)
menyediakan seluruh (100 %) modal sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola.
Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan
dalam kontrak.
Landasan syari’ah antara lain al-Qur’an
surat al-Muzammil ayat 20, Surat al-Jumu’ah ayat 10 dan surat al-Baqarah
ayat 198. Dari Al-Hadits riwayat
Thabrani dan Ibnu majah serta Ijma para sahabat.
Secara umum Mudharabah terbagi kepada dua jenis, pertama
mudharabah muthlaqah dan mudharabah muqayyadah.
Yang dimaksud mudharabah muthlaqah adalah
bentuk kerja sama antara shahibul mal dengan mudharib yang cakupannya sangat
luas dan dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis.
Sedangkan mudharabah muqayyadah adalah
kebalikan dari mudharabah muthlaqah. Si mudharib dibatasi dengan batasan jenis
usaha, waktu dan tempat usaha. Adanya pembatasan ini biasanya mencerminkan
kecenderungan umum si shahibul mal dalam memasuki jenis dunia usaha.
3.
IJARAH
Pengertian secara etimologi ijarah disebut
juga al-ajru (upah) atau al-iwadh (ganti). Ijarah disebut juga sewa, jasa atau
imbalan. Sedangkan menurut Syara’ Ijarah adalah salah satu bentuk kegiatan
Mu’amalah dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia, seperti sewa menyewa dan
mengontrak atau menjual jasa, atau menurut Sayid Sabiq Ijarah ini adalah suatu
jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian.
Menurut Ulama Fiqh Imam Hanafi Ijarah
adalah transaksi terhadap suatu manfaat dengan imbalan. Sedangkan menurut Ulama Syafi’i Ijarah adalah
transaksi terhadap suatu manfaat yang dituju, tertentu, bersifat mubah dan
dapat dimanfaatkan dengan imbalan tertentu. Sementara menurut Ulama Maliki dan
Hambali Ijarah adalah pemilikan manfaat sesuatu yang dibolehkan dalam waktu
tertentu dengan suatu imbalan.
Berdasarkan definisi dari para Ulama
Madzhab tersebut, terdapat kesamaan pandangan bahwa adanya unsur penting dalam
pembiayaan Ijarah yakni adanya manfaat pada barang yang disewakan baik yang bersifat jasa, dan adanya imbalan
atas nilai yang disepakati dalam transaksi tersebut.
4. IJARAH MUNTAHIYA BITTAMLIK
Transaksi ini adalah sejenis perpaduan
antara akad (kontrak) jual beli dengan
akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan
barang di tangan si penyewa. Sifat pemindahan kepemilikan inilah yang
membedakan denga ijarah biasa.
Adapun bentuk akad ini bergantung pada apa
yang disepakati kedua belah pihak yang berkontrak. Misalnya al-ijarah dan janji
menjual; nilai sewa yang mereka tentukan dalam al-ijarah; harga barang dalam
transaksi jual dan kapan kepemilikan itu dipindahkan.
Aplikasinya dalam perbankan syari’ah
dioprasionalisasikan dalam bentuk operasing lease maupun financial lease. Akan
tetapi pada umumnya bank-bank tersebut lebih menggunakan ijarah muntahiya
bittamlik ini karena lebih sederhana dari sisi pembukuan. Selain itu bank
pun tidak direpotkan mengurus
pemeliharaan aset, baik saat leasing maupun sesudahnya.
5.
SALAM, BAI’ (Infron of Payment Sale).
Salam
secara etimologi berarti salaf (pendahuluan) yang bermakna akad atau
penjualan/pembuatan sesuatu yang disepakati dengan kriteria tertentu dalam
tempo (tanggungan), sedang pembayarannya disegerakan.
Bai’i
salam adalah suatu jasa pembiayaan yang berkaitan dengan jual beli barang, sedang
pembayarannya dilakukan dimuka bukan berdasarkan fee melainkan berdasarkan
keuntungan (margin). Dengan kata lain ba’i salam adalah suatu jasa free-paid
purchase of goods.
Menurut para Fuqaha menamai Ba’i Salam
dengan Al-Mahawij (barang-barang mendesak). Praktik jual beli ini dilakukan
dengan tanpa ada barangnya di tempat, sementara dua pihak melakukan jual beli,
secara mendesak.
Dasar hukum Ba’i salam ini sama dengan
dasar hukum jual beli yang disyari’atkan dalam al-Qur’an, seperti Firman Allah
dalam surat al-Baqarah 282 yang artinya :
“Hai orang-orang yang beriman apabila kamu
bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, maka hendaklah
kamu menuliskannya”
6.
ISTISHNA (Purchase by order or Manufacture)
Istishna
adalah suatu transaksi jual beli antara mustashni’ (pemesan) dengan shani’i
(produsen) dimana barang yang akan diperjual belikan harus dipesan terlebih
dahulu dengan kriteria yang jelas.
Secara
etimologis, istishna itu adalah minta dibuatkan. Dengan demikian menurut jumhur
ulama istishna sama dengan salam, karena dari objek/barang yang dipesannya
harus dibuat terlebih dahulu dengan ciri-ciri tertentu seperti halnya salam.
Bedanya terletak pada sistem pembayarannya, kalau salam pembayarannya dilakukan
sebelum barang diterima, sedang istishna boleh di awal, di tengah atau diakhir
setelah pesanan diterima.
7.
MUSYARAKAH
Musyarakah
adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk usaha tertentu dimana
masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau amal/expertise) dengan
kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai
kesepakatan.
Musyarakah
ada dua jenis; pertama musyarakah pemilikan dan kedua musyarakah akad
(kontrak). Musyarakah pemilikan tercipta karena warisan,wasiat atau kondisi lainnya
yang mengakibatkan pemilikan satu aset oleh dua orang atau lebih. Dalam
musyarakah ini, kepemilikan dua orang atau lebih berbagi dalam sebuah aset
nyata dan berbagi pula dari keuntungan yang dihasilkan aset tersebut.
8.
SHARF(Valas/Money Changer)
Sarf
menurut arti kata adalah penambahan, penukaran, penghindaran, pemalingan, atau
transaksi jual beli. Sedangkan menurut istilah adalah suatu akad jual beli mata
uang (valuta) dengan valuta lainnya, baik dengan sesama mata uang yang sejenis
atau mata uang lainnya.
Menurut
definisi ulama sarf adalah memperjualbelikan uang dengan uang yang sejenis
maupun tidak sejenis, seperti jual beli dinar dengan dinar, dinar dengan dirham
atau dirham dengan dirham. Transaksi Sarf pada dunia perekonomian dewasa ini
banyak dijumpai pada bank-bank devisa valuta asing atau money changer, misalnya
jual beli rupiah dengan dolar Amerika Serikat (US$) atau mata uang lainnya.
Dasar
hukum diperbolehkan jual beli Sarf menurut interpretasi para ulama adalah sabda
Rasulullah SAW yang diriwayatkan Jamaah Ahli hadits dari Ubadah bin Samit
kecuali Bukhari menyatakan : Yang
maksudnya “ .....jual beli emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan
gadum, kurma dengan kurma, anggur dengan anggur, (apabila) satu jenis (harus)
kuialitas dan kuantitasnya dan dilakukan secara tunai. Apabila jenisnya
berbeda, maka juallah sesuai dengan kehendakmu dengan syarat-syarat secara
tunai.
8.
MUZARA’AH (Harvest Yield Profit Sharing)
Al-Muzara’ah
adalah akad kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap,
di mana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk
ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu (persentase) dari hasil
panen.
Muzara’ah sering diidentikkan dengan
mukhabarah. Dimana antara keduanya ada sedikit perbedaan antara lain, apabila
benih dari pemilik lahan maka dinamakan muzara’ah, tetapi bila benih dari si
penggarap maka dinamakan mukhabarah.
Landasan hukum syari’ahnya antara lain
Al-Hadits riwayat dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW pernah memberikan tanah
di Khaibar kepada penduduknya (waktu itu mereka masih Yahudi) untuk digarap
dengan imbalan pembagian hasil buah-buahan dan tanaman. Begitu juga Ijma
sebagaimana dikatakan Abu Ja’far “ Tidak
ada satu rumah pun di Madinah kecuali penghuninya mengolah tanah secara
muzara’ah dengan pembagian hasil 1/3 dan ¼. Hal ini telah dilakukan oleh
Sayyidina Ali, Sa’ad bin Abi Waqash, Ibnu Mas’ud, Umar bin Abdul Aziz, Qasim,
Urwah keluarga Abu bakar dan keluarga Ali.
9. MUKHABARAH
Sebagai disebutkan di atas bahwa
Mukhabarah sering diidentikkan dengan muzara‘ah, oleh karena itu pembahasan
akad ini mirip dengan pembahasan muzara’ah hanya saja dari segi benih yang
digunakan adalah berasal dari si penggarap tanah.
10. BARTER
Yang dimaksud akad barter ini pemberian
secara sukarela suatu barang atau jasa sebagai imbalan atas perolehan suatu
barang atau jasa yang berlainan sifatnya, atas dasar persetujuan bersama.
Misalnya, A dan B masing-masing mempunyai barang, A menyukai barang milik B,
dan sebaliknya. Jadi secara nalar keinginan mereka untuk melakukan pertukaran
mendapatkan persetujuan yang diperlukan. Karenanya, didalam pertukaran terjadi
pergantian kepemilikan atas barang-barang dari satu ke lain individu.
Sebagai contoh, seseorang mempunyai 1
kilogram apel yang ditukarkan dengan mangga milik sahabatnya. Melalui proses
ini, yang dimiliki sekarang ialah satu kilogram apel yang sebelumnya adalah
kepunyaan orang lain. Bentuk kepemilikan atas apel itu merupakan (hiazat), atau
aktifitas produktif atau jasa.
Kepemilikan melalui barter ini disebut
sebagai kepemilikan tingkat kedua. sebab, kepemilikan atas 1 kilogram mangga
sebelumnya mengharuskan adanya kepemilikan atas satu kilogram apel, apakah
melalui perolehan aktifitas produktif atau jasa.
Di dalam barter, dua nilai dihadapkan satu
dengan yang lain, dan perolehan atas satu nilai yang terwujud dalam satu barang
mensyaratkan penanggalan satu nilai lainnya. Namun demikian, prasyarat yang
menjamin transfer kepemilikan adalah perolehan terdahulu atas barang didapatkan
melalui langkah-langkah umum hiazat, (aktifitas produktif atau jasa).
Demikian juga suatu jasa kemungkinan besar
dapat ditukar dengan jenis jasa yang lain. Contoh seorang dokter dan seorang
tukang cat dapat saja bersepakat, bahwa sebagai ganti biaya pengobatan yang
diberikan dokter, tukang cat mencat bangunan milik dokter. Sehingga dokter akan
menjadi pemilik kerja tukang cat untuk jangka waktu tertentu dan tunduk pada
semua ketetapan yang disepakati bersama. Dalam kasus ini kepemilikan dokter
atas kerja tukang cat merupakan unsur pembentuk kepemilikan tingkat dua, dan
setiap pembatalan sepihak atas persetujuan itu akan menjurus kepada
pelanggaran.
KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut
di atas dapat disimpulkan sbb:
Akad
adalah perikatan, perjanjian dan permufakatan (ittifaq) yang disepakai oleh dua
atau beberapa pihak dan diimplimentasiikan dalam Ijab (pernyataan melakukan
ikatan) dan Qabul (pernyataan menerima ikatan) yang dibenarkan oleh syara’ dan
menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya.
Jenis-jenis
Akad yang yang berlaku di perbankkan syari’ah terdiri dari akad Tabarru dan Tijari.Yang termasuk jenis
Tabarru adalah Hibah, Ibra, Wakalah, Kafalah, Hawalah, Rahn, Qirad, Wadi’ah,
Hadiah. Sedangkan yang tergolong akad Tijari, Murabahah, Mudharabah, Ijarah,
Ijarah Muntahiya Bittamlik, Salam, Istisna, Musyarakah, Sharf, Muzaraah,
Mukhabarah dan Barter.
DAFTAR PUSTAKA
-------------Al-Qur’an
dan terjemahnya Khadim Haramain asy Syarifain, Mamlakah Arabiah Asuudiyah
-------------Dr.
Habib Nazir, Muhammad Hasanuddin, S.Ag. Ensiklopedi Ekonomi dan Perbankan
Syari’ah, Kaki langit, Bandung 2004.
-------------Gemala
Dewi, Wirdyaningsih, Yeni Salma Barlinti, Hukum Perikatan Islam di Indonesia,
Prenada Media, Jakarta 2005
------------- Dr.
Muhammad Rawwas Qal’ahji, Ensiklopedi Fiqh Umar bin Khattab ra, Raja Grapindo
Persada, Jakarta, 1999.
------------- Syafi’i Antonio Muhammad, Bank Syari’ah dari teori ke Praktik
Gema Insani, Jakarta, 2001.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar