Jumat, 30 Maret 2012

HUKUM PERBANKAN SYARIAH

HUKUM PERBANKAN SYARIAH



Oleh

DR.H.ABDURRAHMAN, SH.,MH.
(Hakim Agung Mahkamah Agung RI)



Masalah tentang Perbankan Syariah dalam artian “Bank Tanpa Bunga” atau “Bank dengan Prinsip Perjanjian Bagi Hasil” sudah mulai diperkenalkan di negara kita sejak awal tahunan 1990-an. Secara formal dalam perundang-undangan baru dimunculkan dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang ditetapkan pada tanggal 20 Maret 2006.

Dalam Pasal 49 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 disebutkan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam antara lain di bidang Ekonomi Syariah. Penjelasan pasal yang bersangkutan dalam TLN No. 4611 menyebutkan yang dimaksud dengan “Ekonomi Syariah” adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah antara lain meliputi “Bank Syariah”. Hal ini selanjutnya diatur dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 (LN Tahun 2008 No. 94 tentang Perbankan Syariah yang ditetapkan dan mulai berlaku pada tanggal 16 Juli 2008.

Sebelum ditetapkannya Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 pengaturan tentang Perbankan Syariah sudah dilakukan dalam beberapa undang-undang dan Peraturan Bank Indonesia akan tetapi masih belum memadai. Dalam konsideran Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 huruf d disebutkan bahwa pengaturan mengenai perbankan syariah di dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 belum spesifik sehingga perlu diatur secara khusus dalam suatu undang-undang tersendiri. Selain itu ada beberapa Peraturan Bank Indonesia yang mengatur tentang Perbankan Syariah antara lain Peraturan Bank Indonesia No. 6/24/PBI/2004 tanggal 14 Oktober 2004 tentang Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, Peraturan Bank Indonesia No. 7/35/PBI/2005 tanggal 29 September 2005 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia No. 6/ 24/PBI/2004 tentang Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, Peraturan Bank Indonesia No. 9/19/PBI/2007 tanggal 17 Desember 2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank Syariah, dan lain-lain.               

Apa yang dimaksud dengan Perbankan Syariah? Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 menyebutkan Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Selanjutnya dalam Pasal 1 angka 7 disebutkan Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Pasal 1 butir 8 dan 9 memberikan penjelasan tentang dua komponen tersebut. Bank Umum Syariah adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran, sedangkan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

Mengenai unit usaha syariah dirumuskan dalam Pasal 1 butir 10 yang menyatakan bahwa unit usaha syariah, yang selanjutnya disebut UUS, adalah unit kerja dari kantor pusat Bank Umum Konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dan kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit syariah.  

Berdasarkan rumusan tersebut di atas tampak kepada kita bahwa Perbankan Syariah adalah Perbankan yang melaksanakan kegiatan berdasarkan “Prinsip Syariah”, kemudian Pasal 2 menyebutkan bahwa Perbankan Syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berasaskan “Prinsip Syariah”, demokrasi ekonomi dan prinsip kehati-hatian. Jadi di sini yang menjadi ukuran pembeda antara perbankan syariah dengan perbankan konvensional ialah didasarkan atau tidaknya pada apa yang dinamakan “Prinsip Syariah”. 

Apakah yang dimaksud dengan prinsip syariah itu? Dalam Pasal 1 angka 12 Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 dikatakan bahwa prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. Kemudian dalam Penjelasan Pasal 2 (TLN No. 4867) disebutkan bahwa kegiatan usaha yang berdasarkan prinsip syariah antara lain, adalah kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur:

a.      riba, yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah (batil) antara lain dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas dan waktu penyerahan (fadhl) atau dalam transaksi pinjam meminjam yang mempersyaratkan nasabah penerima fasilitas mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu (nasi’ah);

b.      maisir, yaitu transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan yang tidak pasti dan bersifat untung-untungan;

c.      gharar, yaitu transaksi yang obyeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak diketahui keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi dilakukan kecuali diatur lain dalam syariah;

d.      haram, yaitu transaksi yang obyeknya dilarang dalam syariah; atau

e.      zalim, yaitu transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lain.

Selanjutnya dalam Pasal 19, 20 dan 21 Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 diatur tentang jenis dan kegiatan usaha dari Bank Syariah dan UUS. Dalam kaitan dengan prinsip syariah Pasal 26 menetapkan:

(1)  Kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 20 dan Pasal 21 dan/atau produk dan jasa syariah, wajib tunduk kepada Prinsip Syariah.

(2)  Prinisp Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia.             

(3)  Fatwa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia.

(4)  Dalam usaha penyusunan Peraturan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud perda ayat (3) Bank Indonesia membentuk Komite Perbankan  Syariah.

(5)  Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, keanggotaan dan tugas komite perbankan syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.

Dalam Penjelasan Pasal 26 ayat (4) disebutkan Komite Perbankan Syariah beranggotakan unsur-unsur dari Bank Indonesia Departemen Agama dan unsur mayarakat dengan komposisi yang berimbang, memiliki keahlian di bidang syariah dan berjumlah paling banyak 11 (sebelas) orang.

Sejak tahun 2004 hingga 2010 Dewan Syariah Nasional (DSN) suatu lembaga khusus pada Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat telah menetapkan tidak kurang dari 75 buah fatwa berkenaan dengan masalah Ekonomi Syariah dan sebagian besar adalah berkenaan dengan perbankan syariah akan tetapi untuk pelaksanaan lebih jauh ketentuan Pasal 26 ayat (3) bahwa fatwa tersebut harus dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) masih belum banyak diwujudkan walaupun sampai sekarang sudah cukup banyak ditetapkan Peraturan Bank Indonesia berkenaan dengan  masalah perbankan syariah.  

Apa fungsi perbankan syariah dalam masyarakat? Menurut Pasal 4 Undang-Undang No. 21 Tahun 2008:

(1)  Bank Syariah dan UUS wajib menjalankan fungsi menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat.

(2)  Bank Syariah dan UUS dapat menjalan fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat.

(3)  Bank syariah dan UUS dapat menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf (nazhir) sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (wakif).

(4)  Pelaksanaan fungsi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

Dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 juga diatur tentang Perizinan dan Kelembagaan dari Perbankan Syariah. Dalam Pasal 5 ditentukan:

(1)  Setiap pihak yang akan melakukan kegiatan Usaha Bank Syariah atau UUS wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank Syariah atau UUS dari Bank Indonesia.    

(2)  Untuk memperoleh izin usaha Bank Syariah harus memenuhi persyaratan sekurang-kurangnya tentang:

a.      Susunan organisasi dan kepengurusan;

b.      Permodalan;

c.      Kepemilikan;

d.      Keahlian di bidang Perbankan Syariah; dan

e.      Kelayakan usaha.

(3)  Persyaratan untuk memperoleh izin usaha UUS diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bank Indoensia.

(4)  Bank Syariah yang telah mendapat izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan dengan jelas kata “Syariah” pada penulisan nama banknya.

(5)  Bank umum konvensional yang telah mendapat izin usaha UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan dengan jelas frase “Unit Usaha Syariah” setelah nama Bank pada Kantor UUS yang bersangkutan.

(6)  Bank konvensional hanya dapat mengubah kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah dengan izin Bank Indonesia.

(7)  Bank umum syariah tidak dapat dikonvensi menjadi Bank Umum Konvensional.

(8)  Bank Pembiayaan Rakyat Syariah tidak dapat dikonvensi menjadi Bank Perkreditan Rakyat.

(9)  Bank umum konvensional yang akan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah wajib membuka UUS di Kantor Pusat Bank dengan izin Bank Indonesia. 

Mengenai bentuk badan hukum, dalam Pasal 7 Undang-Undang             No. 21 Tahun 2008 ditegaskan bahwa bentuk badan hukum Bank Syariah adalah Perseroan Terbatas (PT). dengan demikian suatu Bank Syariah harus memenuhi segala persyaratan yang ditentukan dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 (LN Tahun 2007 No. 106) tentang Perseroan Terbatas. Dalam kaitan dengan perseroan yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah Pasal 109 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 menentukan sebagai berikut:

(1)  Perseroan yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinisp syariah selain mempunyai Dewan Komisaris wajib mempunyai Dewan Pengawas Syariah.

(2)  Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas seorang ahli syariah atau lebih yang diangkat oleh RUPS atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia.

(3)  Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas memberikan nasihat dan saran kepada Direksi serta mengawasi kegiatan Perseroan agar sesuai dengan prinsip syariah.

Sejalan dengan ketentuan ini Pasal 32 Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 menentukan:      

(1)  Dewan Pengawas Syariah wajib dibentuk di Bank Syariah dan Bank Umum konvensional yang memiliki UUS.

(2)  Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat oleh Rapat Umum pemegang saham atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia.

(3)  Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas memberikan nasihat dan saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan Bank agar sesuai dengan prinsip syariah.

(4)  Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.

Dalam Penjelasan Pasal 32 ayat (4) (TLN No. 4867) disebutkan bahwa yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia sekurang-kurangnya meliputi:

a.      ruang lingkup, tugas dan fungsi dewan pengawas syariah;

b.      jumlah anggota Dewan Pengawas Syariah;

c.      masa kerja;

d.      komposisi keahlian;

e.      maksimal jabatan rangkap; dan

f.       pelaporan Dewan Pengawas Syariah.

Kemudian ada beberapa ketentuan khusus berkenaan dengan perbankan syariah seperti disebutkan dalam Pasal 12 dan 13. Pasal 12 menyatakan bahwa Saham Bank Syariah hanya dapat diterbitkan dalam bentuk saham atas nama. Kemudian dalam Pasal 13 menentukan Bank Umum Syariah dapat melakukan penawaran umum efek pasar modal sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.     

Mengenai jenis dan kegiatan usaha Bank Umum Syariah, UUS dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah diatur dalam Pasal 19, 20 dan 21. dalam Pasal 19 ayat (1) disebutkan kegiatan usaha Bank Umum Syariah meliputi:

a.      menghimpun dana dalam bentuk simpanan berupa Giro, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad Wadi’ah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

b.      menghimpun dana dalam bentuk Insvestasi berupa Deposito, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad Mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

c.      menyalurkan pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah, Akad musyarakah, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

d.      menyalurkan pembiayaan berdasarkan Akad Murabahah, Akad salam, Akad Istishna, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

e.      menyalurkan pembiayaan berdasarkan Akad Qardh atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; 

f.       menyalurkan pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada Nasabah berdasarkan Akad Ijarah dan/atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

g.      melakukan pengambilalihan utang berdasarkan Akad hawalah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

h.      melakukan usaha kartu debit dan/atau kartu pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah;

i.        membeli, menjual atau menjamin atas risiko sendiri surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata berdasarkan Prinsip Syariah, antara lain, seperti Akad Ijarah, musyarakah, mudharabah, murabahah, kafalah atau hawalah;

j.        membeli surat berharga berdasarkan prinsip syariah yang diterbitkan oleh pemerintah dan/atau Bank Indonesia;

k.      menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan pihak ketiga atau antar pihak ketiga berdasarkan Prinsip Syariah;                

l.        melakukan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu Akad yang berdasarkan Prinsip Syariah;

m.    menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah;

n.      memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah berdasarkan Prinsip Syariah;

o.      melakukan fungsi sebagai Wali Amanat berdasarkan Akad wakalah;

p.      memberikan fasilitas letter of credit atau bank garansi berdasarkan Prinsip Syariah; dan   

q.      melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan di bidang perbankan dan di bidang sosial sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

Kemudian dalam Pasal 20 ayat (1) disebutkan selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) Bank Umum Syariah dapat pula:

a.      melakukan kegiatan valuta asing berdasarkan Prinsip Syariah;

b.      melakukan kegiatan penyertaan modal pada Bank Umum Syariah atau Lembaga Keuangan yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah;

c.      melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat kegagalan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya;

d.      bertindak sebagai pendiri dan pengurus dana pensiun berdasarkan prinsip syariah;

e.      melakukan kegiatan dalam pasar modal sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal;

f.       menyelenggarakan kegiatan atau produk bank yang berdasarkan Prinsip Syariah dengan menggunakan sarana elektronik;

g.      menerbitkan, menawarkan dan memperdagangkan surat berharga jangka pendek berdasarkan surat berharga jangka pendek berdasarkan Prinsip Syariah, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui pasar uang;   

h.      menerbitkan, menawarkan, dan memperdagangkan surat berharga jangka panjang berdasarkan Prinsip Syariah, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui pasar modal; dan

i.        menyediakan produk atau melakukan kegiatan usaha Bank Umum Syariah lainnya yang berdasarkan Prinsip Syariah.

Kemudian mengenai kegiatan usaha UUS menurut Pasal 19 ayat (2) meliputi:

a.      menghimpun dana dalam bentuk simpanan berupa Giro, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad Wadi’ah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

b.      menghimpun dana dalam bentuk Insvestasi berupa Deposito, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad Mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

c.      menyalurkan pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah, Akad musyarakah, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

d.      menyalurkan pembiayaan berdasarkan Akad Murabahah, Akad salam, Akad Istishna, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

e.      menyalurkan pembiayaan berdasarkan Akad Qardh atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; 

f.       menyalurkan pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada Nasabah berdasarkan Akad Ijarah dan/atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

g.      melakukan pengambilalihan utang berdasarkan Akad hawalah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

h.      melakukan usaha kartu debit dan/atau kartu pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah;

i.        membeli, menjual atau menjamin atas risiko sendiri surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata berdasarkan Prinsip Syariah, antara lain, seperti Akad Ijarah, musyarakah, mudharabah, murabahah, kafalah atau hawalah;

j.        membeli surat berharga berdasarkan prinsip syariah yang diterbitkan oleh pemerintah dan/atau Bank Indonesia;

k.      menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan pihak ketiga atau antar pihak ketiga berdasarkan Prinsip Syariah;

l.        menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah;

m.    memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah berdasarkan Prinsip Syariah;

n.      memberikan fasilitas letter of credit atau bank garansi berdasarkan Prinsip Syariah; dan

o.      melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan di bidang perbankan dan di bidang sosial sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

Kemudian dalam Pasal 20 ayat (2) menentukan bahwa selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) UUS dapat pula melakukan:

a.      melakukan kegiatan valuta asing berdasarkan Prinsip Syariah;

b.      melakukan kegiatan dalam pasar modal sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal;

c.      melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat kegagalan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya;

d.      menyelenggarakan kegiatan atau produk bank yang berdasarkan Prinsip Syariah dengan menggunakan sarana elektronik;

e.      menerbitkan, menawarkan dan memperdagangkan surat berharga jangka pendek berdasarkan surat berharga jangka pendek berdasarkan Prinsip Syariah, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui pasar uang;  dan

f.       menyediakan produk atau melakukan kegiatan usaha Bank Umum Syariah lainnya yang berdasarkan Prinsip Syariah.

Sedangkan dalam Pasal 20 ayat (3) disebutkan bahwa kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan Ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

Mengenai kegiatan usaha Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, menurut Pasal 21 Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 menentukan:

a.      menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk:

1.   Simpanan berupa Tabungan atau yang di persamakan dengan itu berdasarkan  Akad Wadi’ah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah.

2.   Investasi berupa Deposito atau Tabungan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.

b.   Menyalurkan dana kepada masyarakat dalam bentuk:

1.   Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad Mudharabah atau musyarakah.

2.   Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah, salam, atau istishna.

3.   Pembiayaan berdasarkan Akad qardh.

4.   Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada Nasabah    berdasarkan Akad ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik.

5.   Pengambilalihan utang berdasarkan Akad hawalah.

c.   Menempatkan dana pada Bank Syariah lain dalam bentuk titipan berdasarkan Akad wadi’ah atau Investasi berdasarkan Akad Mudharabah dan/atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah.

d.   Memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan Nasabah melalui rekening Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang ada di Bank Umum syariah, Bank Umum Konvensional, dan UUS; dan

e.   Menyediakan produk atau melakukan kegiatan usaha Bank Syariah lainnya yang sesuai dengan Prinsip Syariah berdasarkan pesetujuan Bank Indonesia.

Selain itu dalam kaitan dengan penegakan syariah Undang Undang           No. 21 Tahun 2008 menetapkan sejumlah larangan bagi Bank Umum  Syariah, UUS dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah sebagaimana di atur dalam Pasal 24 dan 25.

Dalam Pasal 24 ayat (1) menentukan Bank Umum Syariah dilarang:

a.      Melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan Prinsip Syariah.

b.      Melakukan kegiatan jual beli saham secara langsung di pasar modal.

c.      Melakukan penyertaan modal, kecuali sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 ayat (1) hurup b dan hurup e; dan

d.      Melakukan kegiatan usaha perasuransian, kecuali sebagai agen pemasaran produk asuransi syariah.

Kemudian dalam Pasal 24 ayat (2) UUS dilarang:

a.   Melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan prinsip Syariah;

b.   Melakukan kegiatan jual beli saham secara langsung di pasar modal;

c.   Melakukan penyertaan modal, kecuali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) huruf c; dan

d.   Melakukan kegiatan usaha perasuransian, kecuali sebagai agen pemasaran produk asuransi syariah.

Sedangkan dalam Pasal 25 ditentukan bahwa bank pembiayaan Rakyat syariah dilarang:

a.   Melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan Prinsip Syariah;

b.   Menerima Simpanan berupa Giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran.

c.   Melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing kecuali penukaran uang asing izin bank Indonesia

d.   Melakukan kegiatan usaha perasuransian, kecuali sebagai agen pemasaran produk asuransi syariah;

e. Melakukan penyertaan modal, kecuali pada lembaga yang dibentuk untuk menanggulangi kesulitan likuiditas Bank Pembiayaan Rakyat syariah; dan

f.    Melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.

Persoalan lain yang perlu mendapatkan perhatian adalah tentang penyelesaian sengketa sebagaimana yang diatur dalam Pasal 55 Undang Undang No. 21 Tahun 2008, Pasal tersebut menyatakan:

a.      Penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Agama.

b.      Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad.

c.      Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah.

Ketentuan Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 adalah merupakan konsekwensi logis dan ketentuan Pasal 49 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006. Menurut ketentuan tersebut Pengadilan Agama mempunyai kewenangan untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara Ekonomi Syariah. Sedangkan Penjelasan pasal tersebut (TLN No. 4611) dalam pengertian Ekonomi Syariah termasuk kewenangan di bidang “bank syariah”. Dan dengan Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 lingkupnya diperluas menjadi perbankan syariah tidak hanya menyangkut bank syariah yang meliputi Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, tetapi juga mencakup Unit Usaha Syariah, sebagaimana atelah disebutkan pada awal uraian ini.  

Menurut Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 selain menjadi kewenangan Pengadilan Agama, para pihak (Nasabah dan Bank) dapat “bersepakat” untuk tidak menempuh penyelesaian melalui Peradilan Agama tetapi melakukan pilihan penyelesaian lain yang dituangkan dalam akad. Pasal 55 ayat (2) menyatakan bahwa dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai isi Akad. Penjelasan pasal yang bersangkutan  (TLN No. 4967) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “Penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad” adalah upaya sebagai berikut:

a.      Musyawarah.

b.      Mediasi perbankan.

c.      Melalui Badan Arbitrase, Syariah Nasional (Basyarnas) atau Lembaga Arbitrase lain, dan/atau

d.      Melalui Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum.

Pilihan hukum tersebut harus dinyatakan secara tegas dan dicantumkan dalam Akad. Mengenai pengertian akad telah dirumuskan dalam Pasal 1 angka 13 Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 bahwa Akad adalah kesepakatan tertulis antara Bank Syariah atau UUS dan pihak lain yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan Prinsip Syariah. Selanjutnya Pasal 55 ayat (3) mempertegas dengan menyatakan bahwa penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan Prinsip Syariah. Berdasarkan ketentuan yang disebutkan terakhir bilamana penyelesaian sengketa dilakukan oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum maka ketentuan hukum yang digunakan selain berdasarkan Undang-Undang No. 21 Tahun 2008, Peraturan-Peraturan Bank Indonesia juga harus memperhatikan Fatwa-Fatwa Dewan Syariah Nasional sepanjang ketentuan tersebut “belum” dituangkan secara formal dalam Peraturan Bank Indonesia.  

Persoalan terakhir yang perlu mendapat perhatian adalah berkenaan dengan sanksi pidana sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 Bab XI tentang ketentuan pidana yang memuat 8 pasal (Pasal 59-66). Dalam ketentuan tersebut diberikan ancaman pidana bagi para pelaku usaha, komisaris, direksi, pegawai, atau orang-orang tertentu yang melakukan pindak pidana perbankan syariah dapat dituntut pidana (terkecuali anggota Dewan Pengawas Syariah yang berkenaan dengan pelaksanaan bidang tugasnya). Sebagai contoh dapat disebutkan dalam Pasal 59:

a.      Setiap orang yang melakukan kegiatan usaha Bank Syariah, UUS, atau kegiatan penghimpunan dana dalam bentuk Simpanan atau Investasi berdasarkan Prinsip Syariah tanpa izin usaha dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 22 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp 200.000.000.000,- (dua ratus miliar rupiah).

b.      Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh badan hukum, penuntutan terhadap badan hukum dimaksud dilakukan terhadap mereka yang memberi perintah untuk melakukan perbuatan itu dan/atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu.  

Kemudian Pasal 61 menyatakan:

Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud  dalam Pasal 44, Pasal 47, dan Pasal 48 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedang Rp 4.000.000.000,- (empat miliar rupiah) dan paling banyak                              Rp 15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah).

Dan Pasal 65 menyebutkan:

Pemegang saham yang dengan sengaja menyuruh anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS unutk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang mengakibatkan Bank Syariah atau UUS tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan Bank Syariah atau UUS terhadap ketentuan dalam undang-undang ini dipidana dengan pidana penjara paling singkat 7 (tujuh) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak  Rp 200.000.000.000,- (dua ratus miliar rupiah).

Sekalipun tidak secara eksplisit ditentukan Pengadilan mana yang berhak untuk memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana yang bersangkutan tetapi sesuai prinsip umum yang berlaku di negara kita, kewenangan itu ada pada Pengadilan Negeri. Tetapi karena persoalan ini adalah bersangkutan dengan persoalan prinsip syariah yang juga menjadi kewenangan Pengadilan Agama, maka kiranya patut juga untuk dipikirkan menyerahkan kewengan tersebut pada Pengadilan Agama, hal ini adalah sejalan dengan perubahan ketentuan Pasal 2 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 yang semula menyatakan:

Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat Pencari Keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam undang-undang ini. “

telah diubah oleh Undang-Undang No. 3 Tahun 3 Tahun 2006 sehingga berbunyi:

Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. “

Hal ini memang memerlukan pengaturan lebih lanjut dengan undang-undang.





                                                                                    Jakarta,  22  April  2010 


  

   

2 komentar: