Senin, 26 Maret 2012

Bank Syariah dan Konvensional


Bank Syariah dan Konvensional
OLEH : ARNALDO LUHUT PARMONANGAN

Bank adalah suatu lembaga yang mendapat izin untuk mengerahkan dana masyarakat
berupa pinjaman sehingga sebagai nasabah penyimpan dana dan pemakai akhir. Bank
biasanya menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan metode bunga (selanjutnya disebut
dengan Bank Konvensional). Dalam penerapan metode bunga, bank mengelola kegiatan
ekonominya dengan focus interest differential. Dalam suatu bank konvensional terdapat
nasabah penyimpan dana dan nasabah peminjam dana yang disebut dengan nasabah
debitor. Bank mendapatkan penghasilannya berupa biaya atas jasa yang diberikannya
ditambah biaya-biaya cadangan dan yang paling utama ialah selisih(spread) antara bunga
tabungan yang diberikan kepada nasabah penyimpan dana dengan bunga kredit yang
dibebankan kepada debitor.
Di lain pihak, Bank Syariah yang didirikan berdasarkan pada prinsip-prinsip
perekonomian Islam menjalankan kegiatan usahanya dengan menggunakan metode bagi
hasil. Nampaknya, metode bagi hasil yang diterapkan oleh Bank Syariah ternyata bisa
membuktikan bahwa Bank syariah juga mampu untuk berkembang dan memperbaiki
perekonomian nasional di Indonesia. Peranan Perbankan Syariah dalam memobilisasi
dana dan penyaluran pembiayaan, walaupun kecil, namun mengalami peningkatan.
Seperti yang terjadi pada tahun 1999, meskipun dalam kondisi krisis, bank syariah masih
dapat menyalurkan pembiayaan baru yang belum dapat dilakukan oleh bank
konvensional.
Cara beroperasi Bank syariah dalam kegiatan sehari-hari pada prinsipnya sama dengan
bank konvensional biasa. hal yang membedakannya adalah maslah bunga dan beberapa
praktik lainnya yang menurut syariah Islam tidak diperbolehkan. Beban biaya tetap
diambil dari orang yang menikmati jasanya, namun metode dan perhitungannya tidak
seperti dalam bank konvensional.
Perbedaan prinsip manajemen antara bank syariah dengan bank konvensional terletak
pada upaya mengharmonisasikan kepentingan nasabah penyimpan dana, bank dan
debitor. Pada bank konvensional, kepentingan nasabah penyimpan dana adalah
  
diperolehnya imbalan berupa bunga simpanan yang tinggi dan bank memperoleh spread
yang optimal antara suku bungan simpanan dan suku bunga pinjaman. Tetapi,
kepentingan debitor adalah biaya yang lebih murah berupa tingkat bunga kredit yang
rendah. Dengan demikian, terjadi pertentangan antara ketiga pihak yang sulit
diharmonisasikan.
Pada bank syariah, kepentingan antara nasabah penyimpan dana, bank dan debitor dapat
diharmonisasikan karena dengan metode bagi hasil kepentingan ketiga pihak tersebut
menjadi parallel, yaitu memperoleh imbalan bagi hasil sesuai dengan keadaan usaha yang
benar-benar terjadi. Hubungan antara ketiga pihak tersebut adalah kemitraan.
Hal ini berimplikasi pada perjanjian yang mereka buat, yang secara tegas menyebutkan
bahwa keuntungan maupun kerugian akan dibagi bersama antara mereka. Kedudukan
debitor menjadi sama, karena hak-haknya sebagai penguasa yang ingin bekerja sama
dihormati oleh bank dan nasabah penyimpan dana.
Sebaliknya, pada bank konvensional, kepentingan yang berlawanan antara debitor dan
nasabah penyimpan dana terakomodir pada suatu titik ekuilibrium yang merupakan titik
bertemunya kepentingan antara dua pihak untuk mendapatkan keuntungan yang optimal.
Nasabah penyimpan dana dihinggapi ketidakpastian oleh tingkat suku bunga yang
berubah-ubah sehingga keuntungan yang diharapkan akan diperoleh di bank bisa
berkurang, bahkan hilang. Kedudukan debitor sebagai pihak yang membutuhkan modal
mengakibatkan kedudukannya menjadi lemah dihadapan bank.
Dalam metode bunga, bank lebih dapat memaksakan ketentuan dalam perjanjian kredit
yang menguntungkan bank tanpa memperhatikan kepentingan debitor dan resiko yang
dihadapi. Bahkan, dalam kondisi yang ekstrem, debitor dihadapkan pada pilihan
menerima ketentuan atau tidak mendapatkan pinjaman sama sekali (take it or leave It).
Kondisi yang semacam ini ternyata justru dapat menghancurkan semua pihak apabila
pada situasi ekonomi tertentu debitor tidak dapat mengembalikan pinjaman pokok dan
bunganya pada bank.
 
  
PT Bank Muamalat Indonesia Tbk merupakan jawaban atas permasalahan diatas. Bank
ini didirikan pada tahun 1991, diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan
Pemerintah Indonesia, dan memulai kegiatan operasinya pada bulan Mei 1992. Dengan
dukungan nyata dari eksponen Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) dan
beberapa pengusaha Muslim, pendirian Bank Muamalat juga menerima dukungan
masyarakat, terbukti dari komitmen pembelian saham Perseroan senilai Rp 84 miliar pada
saat penandatanganan akta pendirian Perseroan. Selanjutnya, pada acara silaturahmi
peringatan pendirian tersebut di Istana Bogor, diperoleh tambahan komitmen dari
masyarakat Jawa Barat yang turut menanam modal senilai Rp 106 miliar.
Pada tanggal 27 Oktober 1994, hanya dua tahun setelah didirikan, Bank Muamalat
berhasil menyandang predikat sebagai Bank Devisa. Pengakuan ini semakin
memperkokoh posisi Perseroan sebagai bank syariah pertama dan terkemuka di Indonesia
dengan beragam jasa maupun produk yang terus dikembangkan.
Pada akhir tahun 90an, Indonesia dilanda krisis moneter yang memporakporandakan
sebagian besar perekonomian Asia Tenggara. Sektor perbankan nasional tergulung oleh
kredit macet di segmen korporasi. Bank Muamalat pun terimbas dampak krisis. Di tahun
1998, rasio pembiayaan macet (NPF) mencapai lebih dari 60%. Perseroan mencatat rugi
sebesar Rp 105 miliar. Ekuitas mencapai titik terendah, yaitu Rp 39,3 miliar, kurang dari
sepertiga modal setor awal.
Dalam upaya memperkuat permodalannya, Bank Muamalat mencari pemodal yang
potensial, dan ditanggapi secara positif oleh Islamic Development Bank (IDB) yang
berkedudukan di Jeddah, Arab Saudi. Pada RUPS tanggal 21 Juni 1999 IDB secara resmi
menjadi salah satu pemegang saham Bank Muamalat. Oleh karenanya, kurun waktu
antara tahun 1999 dan 2002 merupakan masa-masa yang penuh tantangan sekaligus
keberhasilan bagi Bank Muamalat. Dalam kurun waktu tersebut, Bank Muamalat berhasil
membalikkan kondisi dari rugi menjadi laba berkat upaya dan dedikasi setiap Kru
Muamalat, ditunjang oleh kepemimpinan yang kuat, strategi pengembangan usaha yang
tepat, serta ketaatan terhadap pelaksanaan perbankan syariah secara murni.
Melalui masa-masa sulit ini, Bank Muamalat berhasil bangkit dari keterpurukan. Diawali
dari pengangkatan kepengurusan baru dimana seluruh anggota Direksi diangkat dari
dalam tubuh Muamalat, Bank Muamalat kemudian menggelar rencana kerja lima tahun
  
dengan penekanan pada (i) tidak mengandalkan setoran modal tambahan dari para
pemegang saham, (ii) tidak melakukan PHK satu pun terhadap sumber daya insani yang
ada, dan dalam hal pemangkasan biaya, tidak memotong hak Kru Muamalat sedikitpun,
(iii) pemulihan kepercayaan dan rasa percaya diri Kru Muamalat menjadi prioritas utama
di tahun pertama kepengurusan Direksi baru, (iv) peletakan landasan usaha baru dengan
menegakkan disiplin kerja Muamalat menjadi agenda utama di tahun kedua, dan (v)
pembangunan tonggak-tonggak usaha dengan menciptakan serta menumbuhkan peluang
usaha menjadi sasaran Bank Muamalat pada tahun ketiga dan seterusnya, yang akhirnya
membawa Bank kita, dengan rahmat Allah Rabbul Izzati, ke era pertumbuhan baru
memasuki tahun 2004 dan seterusnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar