Bank Syariah dan Konvensional
OLEH
: ARNALDO LUHUT PARMONANGAN
Bank adalah suatu lembaga yang
mendapat izin untuk mengerahkan dana masyarakat
berupa pinjaman sehingga sebagai
nasabah penyimpan dana dan pemakai akhir. Bank
biasanya menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan metode bunga
(selanjutnya disebut
dengan Bank Konvensional). Dalam penerapan metode bunga, bank mengelola
kegiatan
ekonominya dengan focus interest differential. Dalam suatu bank
konvensional terdapat
nasabah penyimpan dana dan nasabah peminjam dana yang disebut dengan
nasabah
debitor. Bank mendapatkan penghasilannya berupa biaya atas jasa yang
diberikannya
ditambah biaya-biaya cadangan dan yang paling utama ialah selisih(spread)
antara bunga
tabungan yang diberikan kepada nasabah penyimpan dana dengan bunga kredit
yang
dibebankan kepada debitor.
Di lain pihak, Bank Syariah yang didirikan berdasarkan pada prinsip-prinsip
perekonomian Islam menjalankan kegiatan usahanya dengan menggunakan metode
bagi
hasil. Nampaknya, metode bagi hasil yang diterapkan oleh Bank Syariah
ternyata bisa
membuktikan bahwa Bank syariah juga mampu untuk berkembang dan memperbaiki
perekonomian nasional di Indonesia. Peranan Perbankan Syariah dalam
memobilisasi
dana dan penyaluran pembiayaan, walaupun kecil, namun mengalami
peningkatan.
Seperti yang terjadi pada tahun 1999, meskipun dalam kondisi krisis, bank
syariah masih
dapat menyalurkan pembiayaan baru yang belum dapat dilakukan oleh bank
konvensional.
Cara beroperasi Bank syariah dalam kegiatan sehari-hari pada prinsipnya
sama dengan
bank konvensional biasa. hal yang membedakannya adalah maslah bunga dan
beberapa
praktik lainnya yang menurut syariah Islam tidak diperbolehkan. Beban biaya
tetap
diambil dari orang yang menikmati jasanya, namun metode dan perhitungannya
tidak
seperti dalam bank konvensional.
Perbedaan prinsip manajemen antara bank syariah dengan bank konvensional
terletak
pada upaya mengharmonisasikan kepentingan nasabah penyimpan dana, bank dan
debitor. Pada bank konvensional, kepentingan nasabah penyimpan dana adalah
diperolehnya imbalan berupa bunga simpanan yang tinggi dan bank memperoleh
spread
yang optimal antara suku bungan simpanan dan suku bunga pinjaman. Tetapi,
kepentingan debitor adalah biaya yang lebih murah berupa tingkat bunga kredit
yang
rendah. Dengan demikian, terjadi pertentangan antara ketiga pihak yang
sulit
diharmonisasikan.
Pada bank syariah, kepentingan antara nasabah penyimpan dana, bank dan
debitor dapat
diharmonisasikan karena dengan metode bagi hasil kepentingan ketiga pihak
tersebut
menjadi parallel, yaitu memperoleh imbalan bagi hasil sesuai dengan keadaan
usaha yang
benar-benar terjadi. Hubungan antara ketiga pihak tersebut adalah
kemitraan.
Hal ini berimplikasi pada perjanjian yang mereka buat, yang secara tegas
menyebutkan
bahwa keuntungan maupun kerugian akan dibagi bersama antara mereka.
Kedudukan
debitor menjadi sama, karena hak-haknya sebagai penguasa yang ingin bekerja
sama
dihormati oleh bank dan nasabah penyimpan dana.
Sebaliknya, pada bank konvensional, kepentingan yang berlawanan antara
debitor dan
nasabah penyimpan dana terakomodir pada suatu titik ekuilibrium yang
merupakan titik
bertemunya kepentingan antara dua pihak untuk mendapatkan keuntungan yang
optimal.
Nasabah penyimpan dana dihinggapi ketidakpastian oleh tingkat suku bunga
yang
berubah-ubah sehingga keuntungan yang diharapkan akan diperoleh di bank
bisa
berkurang, bahkan hilang. Kedudukan debitor sebagai pihak yang membutuhkan
modal
mengakibatkan kedudukannya menjadi lemah dihadapan bank.
Dalam metode bunga, bank lebih dapat memaksakan ketentuan dalam perjanjian
kredit
yang menguntungkan bank tanpa memperhatikan kepentingan debitor dan resiko
yang
dihadapi. Bahkan, dalam kondisi yang ekstrem, debitor dihadapkan pada
pilihan
menerima ketentuan atau tidak mendapatkan pinjaman sama sekali (take it or
leave It).
Kondisi yang semacam ini ternyata justru dapat menghancurkan semua pihak
apabila
pada situasi ekonomi tertentu debitor tidak dapat mengembalikan pinjaman
pokok dan
bunganya pada bank.
PT Bank Muamalat Indonesia Tbk merupakan jawaban atas permasalahan diatas.
Bank
ini didirikan pada tahun 1991, diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia
(MUI) dan
Pemerintah Indonesia, dan memulai kegiatan operasinya pada bulan Mei 1992. Dengan
dukungan nyata dari eksponen Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI)
dan
beberapa pengusaha Muslim, pendirian Bank Muamalat juga menerima dukungan
masyarakat, terbukti dari komitmen pembelian saham Perseroan senilai Rp 84
miliar pada
saat penandatanganan akta pendirian Perseroan. Selanjutnya, pada acara
silaturahmi
peringatan pendirian tersebut di Istana Bogor, diperoleh tambahan komitmen
dari
masyarakat Jawa Barat yang turut menanam modal senilai Rp 106 miliar.
Pada tanggal 27 Oktober 1994, hanya dua tahun setelah didirikan, Bank
Muamalat
berhasil menyandang predikat sebagai Bank Devisa. Pengakuan ini semakin
memperkokoh posisi Perseroan sebagai bank syariah pertama dan terkemuka di
Indonesia
dengan beragam jasa maupun produk yang terus dikembangkan.
Pada akhir tahun 90an, Indonesia dilanda krisis moneter yang
memporakporandakan
sebagian besar perekonomian Asia Tenggara. Sektor perbankan nasional
tergulung oleh
kredit macet di segmen korporasi. Bank Muamalat pun terimbas dampak krisis.
Di tahun
1998, rasio pembiayaan macet (NPF) mencapai lebih dari 60%. Perseroan
mencatat rugi
sebesar Rp 105 miliar. Ekuitas mencapai titik terendah, yaitu Rp 39,3
miliar, kurang dari
sepertiga modal setor awal.
Dalam upaya memperkuat permodalannya, Bank Muamalat mencari pemodal yang
potensial, dan ditanggapi secara
positif oleh Islamic Development Bank (IDB) yang
berkedudukan di Jeddah, Arab
Saudi. Pada RUPS tanggal 21 Juni 1999 IDB secara resmi
menjadi salah satu pemegang saham
Bank Muamalat. Oleh karenanya, kurun waktu
antara tahun 1999 dan 2002
merupakan masa-masa yang penuh tantangan sekaligus
keberhasilan bagi Bank Muamalat.
Dalam kurun waktu tersebut, Bank Muamalat berhasil
membalikkan kondisi dari rugi
menjadi laba berkat upaya dan dedikasi setiap Kru
Muamalat, ditunjang oleh kepemimpinan
yang kuat, strategi pengembangan usaha yang
tepat, serta ketaatan terhadap pelaksanaan perbankan syariah secara murni.
Melalui masa-masa sulit ini, Bank Muamalat berhasil bangkit dari
keterpurukan. Diawali
dari pengangkatan kepengurusan baru dimana seluruh anggota Direksi diangkat
dari
dalam tubuh Muamalat, Bank Muamalat kemudian menggelar rencana kerja lima
tahun
dengan penekanan pada (i) tidak mengandalkan setoran modal tambahan dari
para
pemegang saham, (ii) tidak melakukan PHK satu pun terhadap sumber daya
insani yang
ada, dan dalam hal pemangkasan biaya, tidak memotong hak Kru Muamalat
sedikitpun,
(iii) pemulihan kepercayaan dan rasa percaya diri Kru Muamalat menjadi
prioritas utama
di tahun pertama kepengurusan Direksi baru, (iv) peletakan landasan usaha
baru dengan
menegakkan disiplin kerja Muamalat menjadi agenda utama di tahun kedua, dan
(v)
pembangunan tonggak-tonggak usaha dengan menciptakan serta menumbuhkan
peluang
usaha menjadi sasaran Bank Muamalat pada tahun ketiga dan seterusnya, yang
akhirnya
membawa Bank kita, dengan rahmat Allah Rabbul Izzati, ke era pertumbuhan
baru
memasuki tahun 2004 dan
seterusnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar